Sabtu, 10 Desember 2011

Siang di Sebuah Restoran



“Mengapa kau tak bilang padaku?”
Sejenak ia terdiam. Matanya memandang gelas berisi air pesanannya, kemudian perlahan dialihkan padaku.
“Belum saatnya...”
“Belum saatnya?!!!” sengaja aku keraskan volume suaraku, tak hirau akan pengunjung restoran lain, yang saat ini mungkin sudah membelalakan mata padaku.
“Tenang, May...tenang...”, ia mencoba menjadikan dirinya sendiri sebagai sosok yang bersahaja. Namun kini, lelaki yang duduk  bersebrangan denganku sudah tak berharga sama sekai meski dasi bermerek luar itu masih tetap setia menggantung pada leher yang tubuhnya dibalut kemeja sutra. Matanya tak lagi memandangku, kepalanya kembali tertunduk. Bahkan untuk melanjutkan pembicaraan ini dia sudah tak lagi mampu. Terpaksa aku yang berinisiatif.
“Jadi kapan kau akan memberi tahuku??”
Dia masih tetap diam. Perlahan ia coba mengangkat wajahnya yang harus aku akui tetap tampan meski kuyu. Alisnya yang tebal, matanya yang tajam, hidungnya yang sedikit melebar namun proposional dengan lebar wajahnya. Dan aku tersadar dari lamunanku saat ia baru saja mengambil nafas panjang dari hidung itu. Lalu kutujukan tatapan mataku pada bibirnya, seksi tanpa kumis yang menggantung, yang perlahan membuka..Ah!
“Aku kira kau sudah tahu sejak semula.”
“Apa??!!” aku berteriak dalam hati, lamunanku menggantung tentang dia masih bermain dalam otak. Di dalam imajiku, teriakan tadi pastilah akan memecahkan seluruh kaca restoran ini. Karena jawabanmu adalah kalimat jawab yang buruk sekali, Nif. Tentu kau tahu itu, aku masih membatin.
Dan inilah kalimat yang keluar dari mulutku.
“Nif, tampaknya kau tidak mengenalku sama sekali. Jadi tolong! Dengarkan baik-baik perkataanku ini...”, aku ambil nafasmu, “aku bukanlah perempuan murahan yang kau jadikan gundik oleh seorang lelaki yang telah beristri, apalagi beranak! Simpan kalimat tadi baik-baik di dalam memorimu!” Aha, akal pikiran dan emosi hatiku bekerja sama dengan sempurna. Siapa bilang perempuan hanya bisa bermain hati tanpa rasio. Sebetulnya, hati siapa yang takkan terpincut oleh kegantengan Hanif, pemuda tengah baya yang sedang ranum-ranumnya? Namun pikiranku sejak melangkah keluar dari rumah adalah memutuskan hubungan kami. Ya, kami harus berpisah. Maka segera kuucapkan.
“Selamat siang!” aku segera beranjak untuk pergi.
“Jangan pergi dulu, Lin! Aku mohon!” ia memegang pergelangan tanganku. Erat, namun tak bisa aku samakan saat ia pertama kali menjabat tanganku, erat. Di malam kami berkenalan. Juga tak, kepada pelukannya, erat, yang ia berikan padaku di malam itu juga saat kami berdansa. Ah. Aku hapus semua bayangan itu.
Tapi aku mengalah, tetap duduk di kursi yang sebetulnya sudah tidak menerimaku lagi.
“Agaknya, giliranku untuk bicara banyak...”
Ia coba berkalimat hanya untuk kembali diam dan ini membuatku bosan.
“Sudahlah, Nif. Lebih baik kita berpisah sekarang. Sebelum kau membuat keputusan yang bodoh dan sebelum aku terjerumus semakin dalam!”. Gila, tak kusangka aku bisa berbicara begitu bijak.
“Tidak, tidak, Lin. Aku harus bicara padamu sekarang. Aku jatuh cinta padamu. Sungguh, Lin, aku cinta kepadamu...”
Aku biarkan diriku tenang dan kulihat tatapannya yang tajam, dalam, yang aku ingat betul, telah membuatku jatuh di malam pertama aku bertemu. Tatapan yang kini, entah karena apa, diiringi dengan genangan air mata.
“Kau tak perku melakukan ini, Nif! Aku belum hamil, kau tidak perlu susah-susah mengatakan itu hanya untuk membuktikan bahwa kau adalah lelaki!” aku masih sanggup berkata tenang.
“Ini kali aku berkata jujur, Lin. Hubungan dengan istriku sudah lama tak menentu. Meski kami setumah namun kami sudah tak sepaham...”
“Oh, ya!” aku langsung membalas. Jika ini adalah pertandingan bulu tabgkis maka inilah satu-satunya partai tunggal campuran, antara lelaki dan perempuan. Dan sang lelaki baru saja memukul shuttle cock melayang di udara, memberi kesempatan pada perempuan untuk sebuah smash. “Kau dan istrimu sudah tak sepaham, sehingga sebulan yang lalukalian memutuskanuntuk berlibur ke Lombok saat sebelumnya kau katakan padaku bahwa kau mempunyai tugas penting ke Bangkok. Kau dan istrimu sudah tak sepaham sehingga seminggu setelahnya kau bergandengan tangan mesra di supermarket. Dan aku masih ingat, Nif. Masih jelas di dalam ingatanku bahwa saat itu kau menjanjikan sebuah makan malam yang romantis. Dan, dan, masih ku ingat juga saat kau bilang bahwa kau sedang..sedang..ah, ya..sedang menjamu tamu kantor saat kau menunggu kedua anakmu bermain, duduk di sudut food court berbincang mesra dengan istrimu. Jiiih, aku lihat semua itu, Nif! Dengan mata kepalaku sendiri! Apakah itu yang kau sebuh dengan tak sepaham lagi, Nif! Iya! Ah tentu kau tak tahu betapa sakitnya melihat itu semua...,” smash itu sangat tajam dan masuk di bidang yang kosong, tak bisa dijangkau oleh sang lelaki. Ya, the game is over!
Aku terpaksa menutup kedua mataku dengan tangan mencegah air mata yang ingin keluar. Barangkali sakit yang pernah dirasakan seorang manusia adalah tak bisa memiliki apa yang mereka cinta.
“Lin,maafkan aku, Lin..!”
“Bagus, Nif. Sangat bagus sekali. Sekarang kau menyesali semua perbuatanmu terhadapku. Selamat tinggal, Nif! Sekali lagi aku tegaskan, aku bukan perempuan yang suka mengganggu pernikahan orang lain!!” aku berdiri dari bangku yang terasa menusuk pantatku sejak tadi, kemudian bergegas tinggalkan restoran yang belum pernah aku masuki sebelumnya, dan sepertinya tak akan aku masuki lagi.
Kebetulan sebuah taksi menurunkan penumpang di hadapanku, tepat di depan pintu masuk dan keluar, langsung saja aku naik.
“Rumah, Pak!” kataku sambil duduk.
Kulihat supir taksi itu memandang heran kepadaku. Aku langsung menunduk.
“Rumahnya dimana, Mbak? Kan saya tidak tahu..!” supir taksi itu menyadarkanku.
“Ah, ya, maaf, Pak. Perumahan Delta.” Dasar bodoh aku ini, pikirku.
“Nah, kalau itu saya tahu.”
Taksi berangkat, aku meneguhkan hati untuk menengok ke arah restoran itu. Tidak. Aku tak mau tahu apa yang sedang dilakukan Hanif sekarang, esok dan selamanya. Tiba-tiba nada dering HP-ku berbunyi dan nama Hanifku terpampang dilayar. Segera saja aku sahut.
“Hallo...”
“Hallo!” aku ulangi.
..sunyi..tak ada suara dari Hanif, bahkan tak pula desah nafasnya.
“Nif!” aku coba memanggil.
“Hallo, Nif!”
“Lin..,” tampak lemah suaranga.
“Nif..”
“Nif..,” ingin aku memanggil namanya ribuan kali.
“Nif..,” namun akal pikirku tak membolehkannya.
Sepi kembali dan kini aku yakin takkan ada lagi suara yang terdengar darinya, lalu sambungan terputus. Kemudian dengan keyakinanku, entah di bawah perintah hati atau pikiran, aku hapus nomornya dalam phone book.
“Kenapa, Mbak?” supir taksi itu tampak perhatian.
“Ah, nggak pa-pa,” aku mencoba menjawab.
“Bisa nyalakan radio, Pak?” suaraku hampir terpendam nafas tangis.
“Bisa, bisa, Mbak..”
Terdengar lalu suara penyiar yang kukenal dan diikuti sebuah lagu.
“Gelombak berapa, Mbak?” supir itu bertanya sopan.
“Ah, ini saja, Pak..,” kini separuh suaraku tertelan oleh tangis “tidak usah dipindah!”
‘Januari’ oleh Glenn Fredly terdengar bersama air mataku yang mengalir.